JoM bERtakWA di BUlan RamaDHAN


.



Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai takwa kepada Allah Ta’ala[ Lihat kitab “Tafsiirul Qur’anil kariim” (2/317) tulisan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah.], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati[ Lihat kitab “Manhajul Anbiya’ fii tazkiyatin nufuus” (hal. 19-20).].

 Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang muslim untuk  meraih takwa kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah:183).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang bererti menahan (diri) dari makan, minum dan hubungan suami-isteri dengan niat ikhlas kerana Allah Ta’ala (semata), kerana puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang tercela”[ Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/289).].

Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:

1- Orang yang berpuasa (bererti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah Ta’ala (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-isteri dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya).

2- Orang yang berpuasa (bererti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala), maka dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), kerana dia mengetahui Allah Ta’ala maha mengawasi (perbuatan)nya.

3-Sesungguhnya puasa akan mempersempitkan jalur-jalur (yang dilalui) syaitan (dalam diri manusia), karena sesungguhnya syaitan beredar dalam tubuh manusia di tempat mengalirnya darah[ Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1933) dan Muslim (no. 2175).], maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut.

4-Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta’ala), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.

5-Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa[Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 86).].

Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnu Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya”[  Kitab “al-Fawa-id”].

Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh kerana itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadith yang shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[  Lihat “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2623).].

 Bahkan Allah Ta’ala menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas[ HSR al-Bukhari (no. 1805) dan Muslim (no. 1151), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.],

Sebagaimana sabda RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semua amal (soleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), kerana sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya”[  HSR al-Bukhari (no. 1805) dan Muslim (no. 1151), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.].

Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas” (QS az-Zumar:10).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliaurahimahullah: “Sabar itu ada tiga hal:

1.sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah Ta’ala.
2.sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang diharamkan-Nya,
3.sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia).

 Ketiga-tiga hal sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa, kerana (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam (menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang yang berpuasa”[ Kitab “Latha-iful ma’aarif”].

Penutup
Demikianlah nasihat ringkas tentang keutamaan bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim dan diriku yang beriman kepada Allah Ta’ala dan mengharapkan redha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang disyariatkan-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan: Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”[ HR at-Tirmidzi (no. 682), Ibnu Majah (no. 1642), Ibnu Khuzaimah (no. 1883) dan Ibnu Hibban (no. 3435), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, Ibnu Hibban rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah.].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين



Your Reply